Alkisah sosok legendaris penyebar dakwah di tanah Jawa. Tak lain tak bukan Sunan Kalijaga namanya. Konon, Ia mengamalkan falsafah Jawa, empan papan atau local setting, alias di mana bumi dipijak, di situ adat dijunjung. Sunan Kalijaga mengenalkan Islam setahap demi setahap melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal (local wisdoms) Jawa. Di mana, waktu itu masih didominasi oleh agama Syiwa-Buddha.
Sosok ini tak memperkenalkan Islam secara frontal, melainkan dengan memadukan istilah-istilah Islam dengan istilah-istilah dalam agama yang masih berlaku. Hasilnya, Islam diadopsi orang Jawa secara damai, tanpa kekerasan dan perang yang memakan korban jiwa, dan harta benda serta trauma. Sang tokoh, juga berdakwah dari rumah ke rumah mengabarkan kepada masyarakat tentang Islam, kebaikan, dan bermasyarakat yang berbudaya. Sosok itulah yang menginspirasi alumni KAMMI kali ini.
“Saya sangat terinspirasi oleh dakwah semacam ini, kita juga pernah melakukan kafilah kebudayaan ke kota-kota, dengan menggelar panggung pertunjukkan musik dan pemutaran film pendek,” ungkapnya. Dikemudian hari, publik mengenal Gus Par sebagai sosok Kiayi sekaligus aktivis alumni KAMMI dalam dakwah kultural yang kental dengan aktivitas Ngaji Kebudayaannya.
Nama lengkapnya, Rahmat Agus bin Kiai Abdurrahman bin Kiai Abi Darin. Sosok kiayi NU dengan tampilan yang “Nyeni”. Rambut gondrong, sarung, kopiah hitam dan kaos oblong menjadi ciri khas kesehariannya. Bagi masyarakat Semarang, Gus Par dikenal sebagai kiayi yang “hambel”, membuatnya tetap nyaman bergaul dengan siapa saja dan mudah diterima siapa saja. Budayawan Semarang, kini menjadi julukannya.
Riwayat “jabatannya”, sebenarnya pernah menduduki posisi strategis. Masuk jajaran Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) di PBNU. Hanya saja, sejak tahun 2000-an. Memantapkan diri “Hijrah” ke Semarang. Membersamai masyarakat. Salah satunya, menjadi pengasuh Pondok Pesantren Progresif yang berlokasi di Jalan Tusam Raya 26 Banyumanik tersebut, Gus Par membimbing kurang lebih sebanyak 150-an santri di sana. Santrinya, datang dari berbagai arah mata angin. Seperti seperti Pati, Cepu, Riau, Palembang, Jawa Timur dll. Menariknya, santrinya bukan santri biasa, kebanyakan santrinya adalah seniman. Mulai dari seniman yang bergelut di sastra, musik, lukis, kaligrafi bahkan hadrah.
“Saya kira sudah 15 tahunan saya berkiprah di sini (Semarang), mengadakan beragam kegiatan-kegiatan seni dan kebudayaan, lewat diskusi-diskusi yang digelar,” katanya. Menurutnya, di Nusantara ini memang teramat banyak pondok pesantren. Hanya saja, yang fokus mengurus dakwah kultural dalam seni dan kebudayaan belum banyak. Itu sebabnya, ia merasa terpanggil untuk itu.
Dakwah kultural sendiri memang tak bisa dianggap remeh. Dalam Sejarah misalnya, ketika para sahabat masuk wilayah Persia. Ketika itu, mereka melihat orang Persia menyembah api yang disimpan di tempat tinggi. Para sahabat baru memahami kalau tempat tersebut adalah manarah atau tempat api. Sahabat tidak menghilangkan budaya Persia itu tetapi diubah fungsinya, menjadi tempat untuk mengumandangkan adzan.
Jadi keberhasilan dakwah Islam ditopang oleh banyak peradaban. Karena itu dialog dengan berbagai kebudayaan menjadi penting untuk membangun Islam. Kehadiran para ulama ke nusantara juga semacam itu, bertujuan membangun karakter dan akhlak, tidak hanya menyebarkan doktrin saja. Sunan Kudus misalnya, melarang menyembelih sapi untuk kurban. Sunan Kudus sangat menjauhi konflik, menghormati budaya sebelumnya
Gus Par punya pendapat menarik, seniman itu adalah orang yang jika prosesnya benar akan mudah menerima kebenaran. Gus Par meyakini, seniman itu adalah orang yang jika prosesnya benar akan mudah menerima kebenaran “Seniman itu orang yang hatinya lebih lembut. Sehingga dia lebih mudah menerima konsep kebenaran,” terangnya. []