Nana Sudiana:Totalitas Aktivis Filantropi

“Beliau (Nana Sudiana) adalah aktivis filantropi yang berkecimpung dalam dunia pengelolaan zakat selama lebih dari 20 tahun, selamat untuk Anda dan terus berkarya untuk umat dan bangsa Indonesia, sukses selalu,” tutur Dr. Takdir Ali Mukti, S.Sos., M.Si. selaku Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Ucapan itu adalah bagian dari prosesi acara penghargaan alumni. Bang Nana, panggilan akrabnya yang kini aktif sebagai Direktur Pendayagunaan Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) dan Direktur Akademizi  ini meraih penghargaan Alumni Achievement Award (AAA) di acara Alumni Award yang dilaksanakan secara daring oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Sebuah penghargaan atas kiprahnya selama ini. Kini, beliau adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAKAMMI).

Sebagai alumni Prodi Hubungan Internasional yang kemudian terjun ke dunia filantropi, pembelajaran di UMY memberikan kesan mendalam baginya. “Saya mengakui selama belajar di kampus UMY, telah banyak mendapatkan ilmu bagaimana bernegosiasi, berdiplomasi, dan berkomunikasi dengan baik sehingga menjadi modal mewakili negara untuk pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat baik di Indonesia maupun di seluruh dunia,” katanya.

Perjalanan hidupnya yang fokus dan total dalam dunia filantropi memang cukup panjang. Sejak lulus kuliah,  pada 1 September 2001 sampai kini masih sebagai aktivis filantropi Islam. Kiprah terbaiknya, diantaranya membantu semakin banyak kaum dhuafa yang memerlukan  bantuan, dengan membangun sekolah-sekolah, madrasah, pesantren, rumah sakit, masjid, rumah tahfidz, rumah produksi untuk UMKM, start up untuk produk mereka dan masih banyak lagi. Ini yang dilakukan bersama dan kawan-kawannya selama ini di lembaga. Memastikan para dhuafa bebas dari masalah dan muka mereka tegak sebagai hamba yang setara dengan hamba lainnya. Lantas, apa aktivitas konkrit kesehariannya?

“Selain jadi ‘pembantu umum’ yang bekerja untuk memuliakan sesama, saya juga ngajar, ngisi pelatihan, nguji sertifikasi (karena memang sebagai asesor BNSP) dan menulis. Sesekali traveling dan menikmati hidup dengan membaca, dan berkebun di rumah,” begitu pengakuan Alumni KAMMI Jogjakarta ini.

Terkait dengan keIndonesiaan, sebuah mimpi terngiang di kepalanya. Tentang bagaimana umat Islam semestinya terus berusaha menjadi muslim yang harus lebih banyak mengucap syukur. Kenapa? Negeri ini penuh kedamaian, subur dan penuh sumberdaya alam yang bisa untuk membangun negeri.

“Kalau semua belum ideal, kita harus tetap bersabar dan terus tak kenal lelah berusaha mengajak banyak orang untuk jadi inisiator kebaikan. Negeri ini masih membutuhkan banyak uluran tangan, kerja keras dan gotong royong yang nyata agar bisa mandiri dan tegak di atas kaki sendiri,” katanya.

Pencapaian dalam profesi yang digelutinya tak luput berkat pengalaman dari aktivitas yang dijalaninya dulu, tak lain tak bukan aktivitas di KAMMI. Selama di KAMMI mulai merawat dan menumbuhkan dengan cinta. Perlahan memahamkan ke banyak orang dan anak-anak muda kampus yang baru datang dan sebagian baru tahu apa itu KAMMI. Bersentuhan dengan KAMMI  ketika masih dalam pada fase benih dan kecambah yang sejatinya menjadi bagian dari sejarah awal pengorbanan untuk menjadi mata rantai awal yang tak mudah.

“KAMMI ini kan lahir tanpa modal kapital, ia lahir hanya membawa spirit bahwa ia akan bertumbuh dan menjadi bagian kemanfaatan baru elemen yang ada. Setelah KAMMI makin tumbuh bertahun kemudian, terus terang saya tak banyak terlibat lagi. Ibarat sebuah taman, saya lebih banyak memandang dari jauh, menikmati seperti apa KAMMI tumbuh dan berkembang,” tuturnya.

Aktivis filantropi Islam yang juga penulis buku “Amil Zakat Easy Going” kini masih terus beraktivitas.  Terus bernegosiasi untuk menghimpun donasi dari negara-negara berkembang maupun negara maju lainnya seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Turki untuk membantu masyarakat yang membutuhkan baik di dalam negeri maupun di negara lainnya yang membutuhkan bantuan. 

Hidupnya penuh keseriusan, tak penuh drama.

“Saya orangnya rasional, sejak awal tak suka dengan kisah-kisah yang tak berkorelasi dengan hal-hal besar dan bermanfaat,” tutupnya. []

Penulis

Yons Achmad

Penulis | Pembicara | Pencerita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tulisan Terkait